KORUPSI POLITISI PARPOL DI DAERAH

4:05 PM


SEBAGAIMANA telah diungkapkan di dalam Bab terdahulu, fenomena politik kartel dalam kehidupan politik kepartaian di Indonesia era reformasi dapat ditunjukkan paling tidak 6 (enam) karakteristik/indikator, yakni: 1. Hilangnya peran ideologi; 2. Mengutamakan koalisi, bukan oposisi; 3. Janji-janji dalam Pemilihan tidak direalisasikan; 4. Memperoleh dana ilegal; 5. Menghindari penyingkapan kasus korupsi; dan, 6. Mengutamakan politik pencitraan. Fenomena lain adalah perpecahaan Pasangan Pimpinan Kepala Daerah setelah memegang jabatan. Mayoritas Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota, mengalami perpecahan atau pecah kongsi sebelum masa jabatan mereka berakhir. Proses perekrutan Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diyakini sebagai cikal bakal ketidakharmonisan mereka. Menurut Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Reydonnyzar Moeloek (Kompas, 28 Desember 2011), dari 244 Pasangan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah yang dipilih melalui Pemilu kepala Daerah secara langsung pada tahun 2010 dan 67 Pasangan pada Pemilu Kepala Daerah tahun 2011, hanya 6, 15 % berhubungan harmonis satu sama lain, sementara 93,85 % pasangan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah lain mengalami perpecahan atau pecah kongsi. Dalam pengertian, hanya 6,15 % Pasangan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah berlanjut, kembali mencalonkan diri bersama-sama, sementara sebanyak 93,85% lain tidak berlanjut. Menurut analisis Kemendagri, perpecahan dimulai dari proses perekuritan. Kebanyakan pasangan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah berasal dari Parpol berbeda. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki tim sukses berbeda. Tim Sukses itulah yang bisa memperuncing sehingga terjadi gesekan. Penyebab lain adalah Kepala Daerah merasa bersama-sama memiliki akses, sumber daya, sumber dana, dan pendukung. Keduanya sering kali lebih mengutamakan kepentingan pendukung, yang sudah memilih langsung. Pola komunikasi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga menjadi persoalan. Perpecahan kerap dipicu pembagian peran, tugas pokok, fungsi, dan kewenangan yang berbeda antara Kepala Daerah dan Wakil Kepal Daerah, termasuk soal proporsi alokasi anggaran operasional Kepala Daerah dan Wakilnya (Kompas, 28 Desember 2011). Fenomena politik kartel di daerah dapat ditunjukkan melalui salah satu karakteristik, yakni memperoleh dana ilegal atau perilaku korupsi kalangan politisi Parpol baik selaku Kepala Daerah maupun Anggota DPRD. Sebagaimana telah berlaku di tingkat pusat, di tingkat daerah indikator politik kartel ini dimaknai antara lain sebagai politik “jual-beli” untuk kepentingan peribadi, kelompok atau Parpol. Politik kartel ini telah melahirkan banyak pejabat berkemampuan rendah sehingga perkembangan daerah menjadi lambat, bahkan kebijakan otonomi daerah tidak mampu meningkatkan kesejahteraan kebanyakan masyarakat, kecuali segelincir orang dari posisi di luar kekuasaan menjadi di dalam kekuasaan pemerintahan daerah. Politik kartel termasuk politik “jual-beli” ini dapat digambarkan dari sebagian besar perkara Pilkada masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) selama beberapa tahun terakhir. Para pemenang Pilkada digugat karena diduga memanfaatakan uang (politik uang) demi meraih suara. Dalam praktik politik jual beli sebagai parameter fenomena politik kartel di daerah, para calon Kepala Daerah menawarkan uang kepada rakyat agar memilihnya. Satu cara dengan tawaran kelompok tertentu (terutama pengusaha pemburu rente), “kalau mau jadi Kepala Daerah, kami dukung, tetapi proyek tertentu diberikan kepada kami”. Politik jual beli, lazim juga disebut sebagai politik transaksional, sudah merajalela di seantero Indonesia. Politik jual beli ini membawa dampak negatif berupa meningkatnya baik kualitatif maupun kuantitatif kasus korupsi kaum politisi baik sebagai Kepala Daerah maupun Anggota DPRD. Dampak lanjutannya adalah penyelenggaraan negara oleh pejabat pemerintahan daerah tidak dalam rangka memenuhi tujuan bernegara yakni kesejahteraan masyarakat, melainkan kesejahteraan kaum politisi Parpol khususnya dan klas atas dan menengah umumnya. Bagian ini akan berfokus pada penyajian fenomena korupsi di daerah dalam era reformasi, demokratisasi, otonomisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi, termasuk era pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Karakteristik politik kartel kepartaian di tingkat nasional juga berlaku dan jauh lebih banyak di tingkat daerah, antara lain memperoleh dana ilegal dari negara/pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan Parpol. Para pelaku politik kartel dapat terwakilkan dengan kasus-kasus korupsi Kepala Daerah dukungan atau pemimpin Parpol setempat dan anggota DPRD, notabenenya adalah kader Parpol. Pada tahun 1997 krisis ekonomi politik di Indonesia memperkuat posisi kekuatan reformasi dengan cita-cita demokratisasi di bidang Pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani. Cita-cita kekuatan reformasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi lebih kuat terhadap kebijakan melalui proses politik panjang untuk menggunakan ketrampilan negoisasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Demokratisasi mengakibatkan kecenderungan sistem interaksi terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence). Kekuatan reformasi telah menumbuhkan harapan baru akan masyarakat bebas dari Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) sebagai salah satu agenda reformasi. Satu kemajuan kekuatan reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah penataan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik dalam pengertian otonomisasi, desentralisasi maupun dekonsentrasi. Bermula dari diterbitkannya UU No. 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil revisi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, demokratisasi secara legalistik yuridis telah melakukan perubahan sangat mendasar dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Secara garis besar, perubahan paling tampak adalah terjadinya pergeseran kewenangan dari satu lembaga ke lembaga lain. Konsep otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah paling dekat dengan masyarakat, yakni Kabupaten/Kota. Tujuan pemberian otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yakni memberdayakan daerah, termasuk masyarakat, mendorong prakarsa dan peran masyarakat dalam proses Pemerintahan dan pembangunan. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahaan seperti desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan diselenggarakan secara proporsional sehinga saling menunjang. UU No. 32 tahun 2004 digunakan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan kecuali urusan Pemerintah pusat yakni: politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, peradilan (yuridis) dan agama. Pemerintah berwenang membuat norma, standar, prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah Provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternal regional, dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dengan eksternalitas daerah. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, dan tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan kota mempunyai Pemerintahan Daerah diatur dengan UU. Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah diakomodasikan dalam bentuk urusan Pemerintahan menyangkut peraturan terhadap regional menjadi wilayah tugasnya. Urusan menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan Pemerintahan berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pilihan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Pemda adalah fungsi-fungsi pemerintahan daerah dilakukan oleh lembaga Pemerintahan Daerah yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antar Pemerintah Daerah dan DPRD hubungan kerja kedudukan setara dan bersifat kemitraan, bermakna sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga membangun hubungan kerja saling mendukung satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Dalam UU No. 32 tahun 2004 terlihat semangat melibatkan partisipasi publik. Pelibatan publik dalam Pemerintahan atau politik di daerah mengalami peningkatan luar biasa dengan diaturnya Pilkada secara langsung. UU No. 32 tahun 2004 tersebut menciptakan good governance (tata pengaturan yang baik). UU No. 32 tahun 2004 kemudian diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP No. 6 tahun 2005 ini mengatur tentang pelaksanaan Pilkada secara langsung telah membuat sistem Pemerintahan di daerah semakin demokratis. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Melalui peraturan perundang-undangan ini setidaknya secara prosedural demokrasi telah difungsikan secara baik di daerah. Mulai tahun 2005 pergantian Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota di seluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung. Parpol berperan dalam pencalonan pasangan Kepala Daerah, lalu rakyat setempat secara langsung memilih dengan prinsip-prinsip Pilkada sesuai Pilpres. Seiring dengan penguatan Pemerintah Daerah dan pelaksanaan Pilkada secara langsung yang menjadikan Parpol sebagai faktor penting, peran Parpol juga semakin menguat kemudian menjadi berpengaruh terhadap pemilihan Kepala Daerah dan sistem perumusan kebijakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Demokratisasi menggiring sistem politik di daerah semakin terbuka, dapat dinilai merupakan kemajuan signifikan. Namun, dari perspektif kebijakan publik gelombang demokratisasi itu ternyata menjadi tantangan tersendiri tidak pernah berlaku sebelumnya. Dewasa ini situasi Pemerintahan Daerah lebih sulit dalam menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan akan diambil. Lain halnya semasa Orde Baru, begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan pendekatan kekuasaan. Proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan untuk sebagian terasa kurang efektif. Konfigurasi politik di daerah kini telah dilengkapi dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Berbagai ciri demokrasi telah berlaku di daerah seperti Pilkada secara langsung, bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan memungkinkan rakyat bisa mengontrol Pemerintahan Daerah sebagai ciri-ciri demokrasi telah berlaku di Indonesia. Namun, sebagai daerah baru belajar berdemokrasi, banyak di antara perumus kebijakan strategis daerah sebenarnya baru belajar berdemokrasi, dan selama sudah terbiasa dengan sistem otoritarian. Salah satu tantangan berat yakni meyakinkan para perumus kebijakan daerah agar tidak frustasi dengan tatanan otoritarian masa lalu, mengungkit nostalgia semuanya serba pasti dan dapat diduga. Proses perumusan kebijakan demokratis memang memerlukan kerja keras untuk menciptakan sebuah konsensus, tetapi itu bukan berarti bahwa kembali ke cara-cara tidak demokratis menjadi cara pemecahan/solusi. Demokratisasi telah memberdayakan DPRD. Jika di masa Orde Baru lembaga ini hanya merupakan pelengkap dan menjadi ”stempel” dari kebijakan Pemerintah Daerah, kini bergerak ke arah legislatif sehingga DPRD diberi hak untuk memilih dan mengawasai Gubernur, Bupati dan Walikota tanpa mekanisme kawal dan imbang jelas. Sistem ini rawan politik uang selain akan menghambat proses perumusan kebijakan. Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) diserahkan sepenuhnya kepada DPRD, pasangan calon Kepala Daerah tinggal ”mendekati” separuh dari seluruh anggota DPRD. Untuk memencapai jabatan politis di daerah ketika itu tidak lebih dari 50 orang untuk DPRD tingkat Provinsi dan tidak lebih dari 23 orang untuk tingkat Kabupaten/Kota.Dengan modal uang, sepasang calon akan mudah untuk membeli suara para anggota DPRD. Memang ada keharusan bagi para pasangan calon untuk menyampaikan visi dan misi mereka di depan DPRD, namun pada akhirnya sangat bergantung penggunaan hak mutlak memilih para anggota DPRD. Persoalan menjadi lebih parah karena kebanyakan para anggota DPRD ketika itu tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam hal ketatanegaraan maupun hal-hal teknis terkait pemerintahan daerah. Ketika para anggota DPRD dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) kurang memadai itu memperoleh kekuasaan besar seiring kebijakan desentralisasi, maka mereka akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan korupsi. UU No. 32 tahun 2004 menghapus kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan juga ketentuan mengenai LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), sebelumnya seringkali disalahgunakan oleh para anggota DPRD untuk memecat Kepala Daerah tanpa alasan jelas. LPJ itu kini hanya dipandang sebagai laporan kemajuan bagi para anggota legislatif. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 telah mengurangi fungsi DPRD, antara lain tidak lagi berwenang memiliki Kepala Daerah dan oleh karena itu diterapkan Pilkaad secara langsung. Ketika Kepala Daerah selanjutnya dipilih secara langsung, kedudukan eksekutif dan legislatif di daerah relatif menjadi lebih seimbang. Meskipun secara prosedural tatanan demokratis telah terwujud di daerah, tetapi tidak menjamin terpilihnya pemimpin yang baik dan masih banyak masalah yang belum terpecahkan. Namun, masalah kesenjangan antara perilaku DPRD dengan apa dikehendaki oleh para konstituen mereka tetap belum dapat diatasi sampai sekarang. Dinamika politik di daerah mengandung tendensi kuat bahwa pejabat lebih memperhatikan kepentingan Parpol ketimbang kepentingan publik. Korupsi menjangkiti para politisi dan petinggi di seluruh jenjang pemerintahan daerah mengakibakan sikap skeptis terhadap para pengambil keputusan di daerah. Salah satu issue politik nasional di bawah era reformasi belakangan ini (2011) adalah Pilkada dan korupsi di daerah. Biaya calon Kepala Daerah dalam pencalonan dan kampanye mengharuskan Kepala Daerah terpilih harus mengembalikan modalnya selama kampanye. Fenomena korupsi di daerah terkait dengan Pilkada telah menjadi “prestasi” Indonesia di bawah era reformasi. Untuk mengurangi korupsi di daerah, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzie, menggagas bahwa Parpol harus membiayai pencalonan dan kampanye calon Kepala Daerah. Gagasan ini tentu masih harus digugat. Bisa jadi, Parpol membiayai calon justru memperkuat politik kartel daerah, terutama perilaku politisi Parpol mengambil dana negara (APBN dan APBD) secara ilegal. Sekarang saja, untuk pembiayaan kegiatan Parpol telah menyuburkan korupsi politisi di daerah. Gamawan juga mengingatkan, banyak Kepala Daerah menjadi tersangka atau terdakwa korupsi, bahkan ditahan. Hal ini pasti berdampak terhadap penyelenggaran pemerintahan di daerah. Penilaian kritis juga datang dari salah seorang penggagas desentralisasi dan otonomi daerah pada masa awal reformasi, Ryaas Rasyid, dalam orasi ilmiahnya di Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture XI, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), 22 Agustus 2011. Pilkada secara langsung, ujar Rasyid, tanpa kajian dan sosialisasi yang intensif mendorong maraknya politik uang dan tidak ada jaminan pasangan calon terbaik akan menang.”Belanja kampanye yang besar mendorong perilaku korupsi Kepala Daerah”, tandas Mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah ini (Kompas, 24 Agustus 2011). Fenomena korupsi Kepala Daerah akan terus berlangsung karena berusaha mempertahankan kekuasaan dan akses ekonominya. Untuk mempertahankan itu semua diperlukan iongkos politik yang sangat besar. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, biaya politik Polkada selalu tinggi. Biaya-biaya ini diperlukan untuk “membeli” atau membayar Parpol pendukung, membeli suara dan kampanye. Kepala Daerah harus mendapatkan kembali ongkos yang sudah dikeluarkan dengan korupsi. Selain itu, kenikmatan akses pada usaha dan kekuasaan membuat para Kepala Daerah enggan melepas kekuasaan. Segala cara pun ditempuh untuk memenangkan kembali Pilkada. Penilaian semacam ini telah ditunjukkan hasil Penelitian ICW di Pilkada Kota Jayapura, Kabupaten Pandeglang, dan Provinsi Banten. Hasil penelitian telah dipresentasikan di UniversitasParamadina, Jakarta, 14 Februari 2012. Menurut ICW, Pilkada menjadi instrument bagi elite lokal untuk mempertahankan kekuasaan dan asset ekonomi. Di sejumlah Kabupaten/Kota di banten dan di Jayapura, pemenang Pilkada umumnya amsih berkerabat atau memiliki hubungan dalam usaha. Sebagai contoh, di Banten, modal Pilkada umumnya dari calon kepala daerah atau keluarga, pengusaha lokal serta dari APBD dan APBN. Sebaliknya, hampir tidak ada Parpol yang mendukung secara financial ataupun dalam proses pemenangan. Karena itu, ICW menyimpulkan, peserta Pilkada umumnya menyembunyikan jumlah sesungguhnya dana. Selain itu, dilakukan juga imbauan, ancaman dan tekanan. Birokrasi juga didorong menjadi penyelenggara seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dan Panitia Pemungutan Suara. Pegawai yang tidak mendukung akan dirotasi. Di Jayapura, misalnya, pemenang Pilkada didukung Kepala Daerah sebelumnya dan pengusaha minuman keras (Kompas, 15 Februari 2012). Potret korupsi semakin mengerikan. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pejabat negara dengan segala unsur seperti Bupati/Walikota, pejabat musyawarah pimpinan daerah (Muspida), atau DPRD. Namun, sebagaimana ditegaskan Hadi Supeno, seorang Mantan Wakil Bupati penulis buku Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan (2010), korupsi telah merembet ke berbagai elemen masyarakat, mulai dari kalangan Parpol, LSM, tokoh agama, hingga perguruan tinggi. Semua terlibat korupsi, Perguruan Tinggi seringkali melegitimasi proyek-proyek korup dengan penelitian bayaran, sedangkan tokoh agama acapkali menjadi juru doa proyek korup. Tidak ada lagi pejabat daerah memenangi pemilihan dengan jujur atau tanpa menggelontorkan uang ke calon pemilih. Akibatnya, ketika menjabat mereka berperilaku korup. Di dalam Melalui Kompas.Com, 24 Desember 2009 menyajikan penegasan HAdi Supeno bahwa dalam hitungan, kebocoran uang APBD rata-rata mencapai 20 %. Sebagian adalah untuk biaya Pilkada pada priode berikutnya. (Muchtar Effendi Harahap) http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/2012/05/korupsi-politisi-parpol-di-daerah.html

You Might Also Like

1 comments

  1. menarik ko ... :) mantap lanjutkan blogingnya.. :)

    ReplyDelete