Dari Definisi Manajemen Publik Sampai Semangat Kaizen

9:35 PM

Dari Definisi Manajemen Publik Sampai Semangat Kaizen
Oleh : Habsul Nurhadi
Profesor Doktor Yeremias T Keban, SU, MURP, Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam bukunya berjudul “Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori, dan Isu”, memberikan definisi bahwa manajemen publik itu secara khusus lebih ditujukan pada manajemen instansi pemerintah.
Profesor kelahiran Lewolein Solor, Nusa Tenggara Timur, pada 19 Juni 1954, yang menyelesaikan pendidikan S1 Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 pada Pitsburgh University, Amerika Serikat, serta menjadi Dosen Magister Administrasi Publikdan Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, itu juga aktif memberikan materi tentang Penataan Kelembagaan dan Pengembangan Aparatur Negara.
Dalam buku tersebut Profesor Keban juga menyitir beberapa pendapat pakar tentang definisi “Manajemen Publik” berdasarkan sudut tinjauannya masing-masing. Dengan adanya berbagai definisi berdasar berbagai sudut tinjauan itu diharapkan dapat diperoleh pengertian “Manajemen Publik” secara lebih utuh dan komprehensif.
Thomas Woodrow Wilson, pria kelahiran 28 Desember 1856, yang pernah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat ke-28 (periode 4 Maret 1913 sampai 4 Maret 1921), dan pernah pula menjabat sebagai Rektor Universitas Princeton (1902-1910), juga terkenal sebagai pionir pengembangan Manajemen Publik berkat bukunya yang ditulis tahun 1887 berjudul “The Study of Administration”. Ia meletakkan 4 (empat) prinsip dasar bagi studi Administrasi Publik yang mewarnai Manajemen Publik sampai sekarang, yakni (1) pemerintah sebagai setting utama organisasi, (2) fungsi eksekutif sebagai fokus utama, dimana (3) pencarian prinsip-prinsip dan teknik manajemen yang lebih efektif sebagai kunci pengembangan kompetensi administrasi, serta (4) metode perbandingan sebagai suatu metode pengembangan bidang administrasi publik.
J Steven Ott, Albert C Hyde, dan Jay M Shafritzs, dalam bukunya berjudul “Public Management : Essential Readings”, menyatakan bahwa Manajemen Publik memfokuskan sebagai sebuah profesi, dan memfokuskan pada manajer publik sebagai praktisi dari profesi tersebut. Menurut mereka, Manajemen Publik lebih mencurahkan perhatian pada operasi-operasi atau pelaksanaan internal organisasi pemerintah atau organisasi non-profit ketimbang pada hubungan dan interaksinya dengan lembaga legislatif, lembaga peradilan, atau organisasi sektor publik lainnya.
Samuel E Overman (dari University of Colorado at Denver) dalam Keban, mengemukakan bahwa Manajemen Publik adalah suatu studi interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi, dan merupakan gabungan antara fungsi manajemen seperti planning, organizing, dan controlling di satu sisi, dengan sumberdaya manusia (SDM), keuangan, fisik, informasi dan politik di sisi lain.
Berdasarkaan pendapat Overman tersebut, dikemukakan bahwa Manajemen Publik dan Kebijakan Publik merupakan dua bidang Administrasi Publik yang tumpang tindih. Tapi untuk membedakan keduanya secara jelas maka dapat dikemukakan bahwa Kebijakan Publik merefleksikan sistem otak dan syaraf, sementara Manajemen Publik mempresentasikan sistem jantung dan sirkulasi dalam tubuh manusia. Dengan demikian, Manajemen Publik merupakan proses menggerakkan sumberdaya manusia dan non manusia sesuai perintah Kebijakan Publik.
Manajemen Publikberkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit sector). Dengan begitu, Manajemen Publik dapat pula disebut lebih spesifik sebagai Manajemen Pelayanan Publik.
Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Hakekat Pelayanan Publik
Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak dapat dilihat mata atau tidak dapat diraba yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau pelanggan.
Menurut Undang-undang Kepegawaian Nomor 43 Tahun 1999, Pegawai Negeri Sipil (PNS) selaku aparatur pemerintah memiliki kewajiban untuk bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional. Selaku pelayan masyarakat, PNS harus memberikan pelayanan yang terbaik atau prima kepada penerima pelayanan tanpa pandang bulu. Jadi PNS berkewajiban memberikan pelayanan atau melayani masyarakat, bukannya justru minta dilayani oleh masyarakat.
Kualitas/Mutu Pelayanan Publik
Konsep kualitas mengandung makna adanya suatu keunggulan terhadap produk (barang atau jasa) yang dihasilkan oleh produsen dalam rangka memenuhi harapan pelanggan. Sehubungan dengan pelayanan publik, keunggulan tersebut adalah pelayanan yang dapat memberikan rasa kepuasan kepada pihak yang dilayani. Keunggulan-keunggulan tersebut perlu terus dievaluasi dan ditingkatkan agar harapan pelanggan yang bersifat dinamis itu terus dapat terpenuhi.
Menurut Agus Dwiyanto, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik mencakup faktor internal dan faktor eksternal. Pada faktor internal mencakup (1) kewenangan diskresi, (2) sikap terhadap perubahan, (3) budaya organisasi, (4) etika organisasi, (5) sistem insentif, dan (6) semangat kerjasama. Sedangkan pada faktor eksternal mencakup (1) budaya politik, (2) dinamika politik, (3) pengelolaan konflik lokal, (4) kondisi sosial ekonomi, dan (5) kontrol masyarakat.
Dalam hal perbaikan manajemen pelayanan publik, maka faktor utama yang perlu dianalisis adalah (1) profesionalisme, (2) kepemimpinan, dan (3) kewenangandiskresi.
Indikator Pelayanan Publik
Terdapat beberapa indikator kualitas pelayanan publik. Menurut A. Parasuraman dan kawan-kawan, terdapat 5 (lima) dimensi pokok yang berkaitan dengan kualitas jasa (service quality), yakni (1) Bukti nyata (tangibles), meliputi fasilitas fisik, penampilan personal, dan sarana komunikasi, (2) Keandalan (realibility), meliputi kemampuan memberikan pelayanan dengan segera, akurat, dan memuaskan, (3) Daya tanggap (responsiveness), mencakup keinginan untuk cepat memberikan pelayanan kepada pelanggan (4) Jaminan (assurance) atas kecakapan, pengetahuan, kesopanan staf, sehingga dapat dipercaya oleh pelanggan, serta (5) Empati (empathy) yaitu mudah berkomunikasi secara personal dan khusus kepada pelanggan.
Birokrasi Pelayanan Publik
Dalam melaksanakan good governance dalam birokrasi maka perlu dilaksanakan beberapa prinsip dasar, yakni (1) kepastian hukum (law enforcement), (2) keterbukaan (transparency), (3) akuntabilitas (accountability), (4) profesionalitas(professionality), (5) partisipasi (participatory), dan (6) saling kontrol (check and balances).
Secara lebih rinci prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip transparansi ini adalah terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
2. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban sehingga pengelolaan organisasi dapat terlaksana dengan baik.
3. Responsibilitas (Responsibility), yaitu kesesuaian atau kepatuhan terhadap prinsip organisasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.
4. Independensi (Independency), yaitu pengelolaan organisasi secara profesional tanpa benturan kepentingan dan tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.
5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness), yakni perlakuan yang adil dan setara dalam memenuhi hak-hak stakeholders berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Penataan Pelayanan Publik
Kata kunci dalam penataan pelayanan publik adalah profesionalisme. Seorang pegawai dituntut bekerja secara profesional, dalam arti memiliki kinerja tinggi. Ukuran profesional dinilai dari minimal 4 aspek, yaitu 4C yang mencakupCompetent, Character, Care, dan Communication.
“Competent” artinya memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk menjalankan peran dan tugasnya. “Character” dikaitkan dengan kepribadian yang tepat. Misalnya untuk bidang pelayanan perlu memiliki karakter bersahabat, sedangkan untuk pekerjaan lapangan punya karakter tegar tidak mudah menyerah.“Care” diartikan mampu merawat nasabah, dengan cara memiliki perhatian, sikap peduli dan kesediaan untuk mendengarkan nasabah/konsumen. “Communication”ditunjukkan dengan sikap ramah, memiliki bahasa santun, kerelaan berbagi informasi, selalu koordinatif, dan mengutamakan kesediaan kerjasama.
Paradigma Pelayanan Publik
Sejalan dengan perkembangan manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan dalam upaya mewujudkan pelayanan prima dan berkualitas, paradigma pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, dengan ciri-ciri :
1. lebih memfokuskan diri kepada fungsi pengaturan, melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi yang kondusif bagi pelayanan masyarakat.
2. lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.
3. menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu, sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas.
4. fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran berorientasi pada hasil(outcomes) yang sesuai dengan input yang digunakan.
5. lebih menggutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
6. pada pelayanan-pelayanan tertentu, pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan.
7. lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan.
8. lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
9. menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Semangat Kaizen
Dalam Bahasa Jepang, kaizen berarti perbaikan yang berkesinambungan. Pada  Wikipedia diistilahkan sebagai perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Istilah itu mencakup pengertian perbaikan yang melibatkan semua orang, baik manajer dan karyawan, dan melibatkan biaya dalam jumlah tidak seberapa. Kaizen(ę”¹å–„) terdiri dari dua huruf Kanji yakni ę”¹ (kai) artinya ę”¹ć‚ć‚‹ perubahan dan å–„(zen) artinya č‰Æ恄 (yoi) kebaikan. Dalam bahasa China disebut gaishan (ę”¹å–„), gai(ę”¹) artinya perubahan atau tindakan perbaikan, sedangkan shan(善) artinya baik atau keuntungan.
Konsep kaizen sangat penting untuk menjelaskan perbedaan antara pandangan Jepang dan pandangan Barat terhadap manajemen. Perbedaan yang paling penting antara konsep manajemen Jepang dan Barat adalah cara berpikir Kaizen Jepang lebih berorientasi pada proses, sedangkan cara berpikir Barat tentang pembaharuan lebih berorientasi pada hasil.
Filsafat kaizen menganggap bahwa cara hidup kita termasuk dalam kehidupan kerja atau kehidupan sosial maupun kehidupan rumah tangga hendaknya selalu terfokus pada upaya perbaikan secara terus menerus. Perbaikan dalam kaizen bersifat perbaikan kecil dan berlangsung secara berangsur. Berbeda dengan inovasi yang dipakai dalam manajemen Barat, umumnya adalah perubahaan besar-besaran melalui terobosan teknologi, konsep manajemen, atau teknik produksi mutakhir.Kaizen tidak bersifat dramatis dan proses kaizen diterapkan berdasarkan akal sehat dan berbiaya rendah, menjamin kemajuan secara berangsur dengan hasil dalam jangka panjang. Jadi kaizen merupakan pendekatan dengan risiko rendah.
Semangat Kaizen meliputi beberapa hal, yakni :
1. Konsep 3 M (Muda, Mura, dan Muri)
Konsep ini dibentuk untuk mengurangi banyaknya proses kerja, meningkatkan mutu, mempersingkat waktu dan mengurangi atau efisiensi.
a.       Muda (ē„”駄) diartikan sebagai pengurangan pemborosan atau kesia-siaan.
b.       Mura (ꝑ) diartikan sebagai pengurangan perbedaan.
c.       Muri (ē„”ē†) diartikan sebagai pengurangan ketegangan.
2. Gerakan 5 S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke)
Konsep 5 S pada dasarnya merupakan proses perubahan sikap dengan menerapkan penataan, kebersihan, dan kedisiplinan di tempat kerja. Konsep 5 S merupakan budaya tentang bagaimana seseorang memperlakukan tempat kerjanya secara benar. Bila tempat kerja tertata rapi, bersih, tertib maka kemudahan bekerja perorangan dapat diciptakan.
1. Konsep Seiri (ę•“ē†), yaitu memisahkan benda yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan, kemudian menyingkirkan yang tidak diperlukan (ringkas).
2. Konsep Seiton (ę•“é “), yaitu menyusun benda dengan rapi dan mengenalinya untuk mempermudah penggunaan.
3. Konsep Seiso (ęø…ęŽƒ), yaitu selalu mengutamakan kebersihan dengan menjaga kerapihan dan kebersihan (resik).
4. Konsep Seiketsu (ęø…ę½”), yaitu usaha yang terus menerus untuk mempertahankan 3S tersebut di atas, yakni SeiriSeiton, dan Seiso.
5. Konsep Shitsuke (仕付), adalah metode yang digunakan untuk memotivasi pekerja agar terus menerus melakukan dan ikut serta dalam kegiatan perawatan dan aktivitas perbaikan serta membuat pekerja terbiasa mentaati aturan (rajin).
Di beberapa perusahaan di Indonesia, terutama perusahaan afiliasi Jepang konsep 5S ini sering di-Indonesia-kan menjadi konsep 5R yaitu Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin.
Bekasi, 10 Mei 2013
H. Habsul Nurhadi, SE

Source: Kompasiana

You Might Also Like

0 comments